Yogyakarta - Pameran Undagi 2025 merepresentasikan eksistensi dan esensi karya-karya kriya dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan visualisasi estetika sesuai lini masa zamannya. Dapat dipahami bahwa pameran ini akan lebih memberikan inspirasi bagi pertumbuhan dan perkembangan kriya dari masa lalu, masa kini, tidak menutup kemungkinan masa mendatang. Penyelenggaraan pameran besar kriya nasional ini juga dilatari oleh kesadaran bersama atas pentingnya menghargai ruang dan waktu untuk terus melahirkan karya-karya Kriya sebagai penanda kemajuan peradaban budaya Indonesia.
Kriya yang akrab dengan pemajuan budaya Indonesia merepresentasikan kekuatan sebagai karya seni yang mengedepankan artifact, mentifact, dan sosiofact menggambarkan tiga aspek berbeda dari kebudayaan atau karya seni yang mencerminkan hubungan antara manusia, budaya, masyarakat dan dengan keberadaan akan Tuhan-nya.
Artifact merujuk pada benda atau objek fisik yang dibuat oleh manusia, yang sering kali mengandung nilai budaya dan sejarah. Mentifact merujuk pada aspek kebudayaan yang tidak tampak secara fisik, namun terinternalisasi dalam pikiran dan nilai-nilai masyarakat. Ini mencakup sistem kepercayaan, ideologi, agama, serta nilai-nilai estetika atau filosofi yang tercermin dalam karya seni. Sedangkan sosiofact mengacu pada struktur sosial dan organisasi masyarakat yang memengaruhi produksi dan konsumsi karya seni. Dalam konteks seni rupa Indonesia, sosiofact dapat mengacu pada peran masyarakat dalam menentukan bentuk, tema, dan cara karya seni diciptakan, diterima, dan dihargai. Ini bisa mencakup peran patron seni, tradisi keluarha atau komunitas seni, serta norma sosial dan budaya yang memengaruhi bagaimana karya kriya diciptakan.
Pameran Kriya ini menghadirkan karya-karya yang di kreasikan oleh kriyawan dari berbagai kota seperti: Medan, Jambi, Pekalongan, Jepara, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Madiun, Kediri, Bali, bahkan ada yang berasal dari Kalimantan. Karya-karya dari sekian banyak kriyawan dari berbagai kota di Indonesia ini tentu membawa latar belakang kehidupam kriyawan, proses penciptaan, serta pesan-pesan yang berbeda. Maka pola kuratorial untuk lebih mendekatkan pada pemahaman yang komprehensif tentang karya-karya tersebut, proses kurasi tidak hanya dilakukan melalui pengamatan kasat mata terhadap karya, tetapi melalui dialog langsung dengan beberapa kriyawan, berdiskusi dan men-synchronize karya dengan mainstream yang dibangun dalam perhelatan pameran, sehingga tercipta sebuah harmoni.
Lalu Cakra Manggilingan sebagai tema yang diusung dalam perhelatan ini bukan hanya menciptakan media pengingat pada pesan leluhur, tetapi juga dielaborasi dengan makna yang lebih luas, yakni memberikan spirit kepada para kriyawan untuk berkarya secara sustainable, mengajak kriyawan dalam menciptakan breaktrough (terobosan) baru dalam proses kreatif dan dalam menyematkan pesan moral maupun kritik di dalam karya. Dengan demikian karya akan menjadi artifact yang estetik, memuat kedalaman makna secara mentifact dan melahirkan public respect yang bernilai sosiofact.